KetikaBom Bali yang konon dirancang Amrozi cs meledak (2002), pesantren pun sempat dicurigai sebagai sarang teroris. Said Aqil Siraj dll adalah tokoh-tokoh yang berlatar belakang pendidikan pesantren dan kitab kuning. Penulis sangat yakin bahwa orang yang mampu mengusai kitab kuning dengan sempurna adalah orang yang layak meneruskan
Kononkata seni berasal dari kata “sani” yang artinya “Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa”. Dalam bahasa Inggris dengan istilah “ART” (artivisial) yang artinya adalah barang/atau karya dari sebuah kegiatan. Konsep seni terus berkembang sejalan dengan berkembangnya kebudayaan dan kehidupan masyarakat yang dinamis.
Memangdahulu belum ada pembedaan antara seniman dan tukang. Pemahaman seni adalah yang merupakan ekspresi pribadi belum ada dan seni adalah ekspresi keindahan masyarakat yang bersifat kolektif. Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan
Adabeberapa pendapat tentang asal-usul nama Irak; - satu di antaranya berasal dari kota Uruk (atau Erech) dari masa Kerajaan Sumer.Pendapat lainnya mengatakan bahwa Irak berasal dari bahasa Aram, yang berarti "tanah sepanjang tepian sungai." Pendapat lainnya mengatakan bahwa Irak adalah sebuah rujukan kepada akar pohon palma, karena jumlahnya
. - Keberpihakan Gubernur Bali, Wayan Koster terhadap Adat Istiadat, Tradisi, Seni Budaya, dan Kearifan Lokal Bali betul-betul diwujudkannya di Pemerintah Provinsi Bali dengan memegang teguh konsep Trisakti Bung Karno, yaitu Berkepribadian dalam Kebudayaan, selain Berdaulat secara Politik dan Berdikari secara Ekonomi, untuk melaksanakan visi pembangunan daerah Bali, yaitu Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru. Hal itu terlihat, ketika pasangan Gubernur Bali dan Wakil Gubernur Bali Wayan Koster – Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati mengeluarkan 1 Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali; 2 Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali; 3 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali; 4 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2020 tentang Standar Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali; 5 secara nyata melakukan pembangunan Kawasan Pusat Kebudayaan Bali di Kabupaten Klungkung sebagai upaya Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali; dan 6 Melindungi serta memberdayakan Warisan Tradisi, Seni Budaya, dan Kearifan Lokal Bali ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kemenkumham RI dengan memfasilitasi pendaftaran Sertifikat Kekayaan Intelektual KI. Atas kerja nyata Gubernur Bali, Wayan Koster membuat Rektor Institut Seni Indonesia ISI Denpasar, Prof. Dr. Wayan Kun’ Adnyana angkat bicara. Prof. Wayan Kun’ Adnyana menyebut program Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan di Bali telah tersurat jelas dalam pencapaian 44 Tonggak Peradaban Penanda Bali Era Baru yang menjadi bukti prestasi gemilang kepemimpinan Gubernur Bali, Wayan Koster dan Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati. “Seluruh hasil kebijakan Gubernur Bali, Wayan Koster telah mencakup keutuhan fondasi tatanan kehidupan masyarakat Bali secara Niskala-Sakala, dan sangat nyata, konkret dirasakan hasilnya oleh masyarakat,” ujar Rektor ISI Denpasar. Hal itu dapat kita lihat dalam penguatan dan pemajuan Adat Istiadat, Tradisi, Seni Budaya, dan Kearifan Lokal Bali yang dilaksanakan oleh Bapak Gubernur Wayan Koster sangat-lah menyeluruh, utuh, dan mendasar. Sehingga Desa Adat di Bali benar-benar harus menjadi benteng ketahanan Bali dalam menghadapi dinamika nasional dan global. Bidang budaya apalagi. Bapak Wayan Koster bersama Tjokorda Oka Sukawati adalah figur pemimpin Bali yang saling melengkapi dengan memiliki pengalaman dbidang budaya. Sehingga dalam kepemimpinannya, lahir kebijakan Penggunaan Bahasa serta Aksara Bali, Penggunaan Busana Adat Bali, dan Pemakaian Kain Tenun Endek. Pengembangan ruang apresiasi baru dibidang seni budaya juga dihadirkan oleh Gubernur Bali, Wayan Koster, seperti Bulan Bahasa Bali, Festival Seni Bali Jani, dan pengembangan Pesta Kesenian Bali dengan Perayaan Budaya Dunia di Bali serta Jantra Tradisi Bali. Sehingga visi pembangunan Daerah Bali, yaitu Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru secara konkret telah terimplementasi nyata dan diapresiasi luas oleh masyarakat Bali, bahkan juga dari kalangan tokoh, lembaga penting di Indonesia sampai dunia yang ditandai dengan raihan penghargaan. “Prestasi luar biasa Gubernur Bali, Wayan Koster tentu sangat membanggakan masyarakat Bali. Langkah berani dengan gagasan besar dan genial, berikut capaian monumental, membuat Gubernur Bali, Bapak Wayan Koster menjadi inspirasi kaum muda Bali di dalam melaksanakan Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali,” pungkas Prof. Kun Adnyana. Sementara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr. Made Sri Satyawati, menilai kinerja Gubernur Bali, Bapak Wayan Koster sangat memperlihatkan hasil nyata, tepat dan penting di dalam usaha melindungi dan memberdayakan Warisan Tradisi, Seni Budaya, dan Kearifan Lokal Bali. Mengapa demikian? Karena Gubernur Wayan Koster telah mengeluarkan Perda Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali, ketika Pulau Dewata ini dijadikan sebagai parameter destinasi wisata dunia. Sehingga memang perlu Bali memiliki landasan payung hukum untuk menguatkan budaya dan memajukan sektor budaya Bali untuk menghadapi berbagai tantangan zaman. “Bali sebagai daerah yang sarat akan budaya, tidak boleh puas dengan pujian-pujian saja. Budaya yang dinikmati oleh wisatawaan mancanegara senantiasa harus dipelihara. Jadi Perda ini harus membidani kemunculan lembaga kebudayaan yang bernama Majelis Kebudayaan Bali,” ujar Prof. Made Sri Satyawati. Majelis Kebudayaan Bali, selama ini telah melakukan berbagai aktivitas pembinaan kebudayaan khususnya seni sakral, kidung, pedalangan, dan yang lainnya di seluruh Kabupaten/Kota di Bali. Lembaga ini juga telah menyelenggarakan Kongres Kebudayaan Bali yang menjadi wahana diskusi para budayawan untuk mengeluarkan rekomendasi strategis Pemajuan dan Penguatan Kebudayaan Bali. Hal ini sangat penting untuk menentukan strategi kebudayaan Bali, baik pada masa kini maupun masa yang akan datang di tengah-tengah industri pariwisata yang berkembang pesat di Bali. Selanjutnya, realisasi Perda yang digagas Gubernur Wayan Koster juga dapat dilihat dalam Program Jantra Tradisi Bali dan Festival Seni Bali Jani, selain kegiatan Pesta Kesenian Bali. Jadi, Jantra Tradisi Bali telah memberikan ruang terhadap kegiatan budaya Bali yang menjadi wadah apresiasi terhadap bidang pemajuan kearifan lokal, pengetahuan tradisional, pengobatan tradisional, teknologi tradisional, permainan rakyat, dan olahraga tradisional. Berbagai renik budaya tradisional ini nyaris tidak tergarap selama ini dan baru diperhatikan pada masa pemerintahan Bapak Wayan Koster dan Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati. Tak hanya merealisasikan kegiatan berbasis tradisi, satu program penting untuk mewadahi seni Bali Modern yang dipayungi oleh Perda Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali adalah Festival Seni Bali Jani. Program ini memberikan ruang pertumbuhan seni modern, kontemporer, dan inovatif. Festival Seni Bali Jani memicu denyut nadi kelahiran seni-seni baru yang berakar dari spirit Bali. Perda Nomor 4 Tahun 2020 kian menunjukkan jati dirinya ke publik, ketika Murdaning Jagat Bali menjadikan regulasi ini sebagai landasan pembangunan Kawasan Pusat Kebudayaan Bali yang lokasinya di Klungkung. Kawasan Pusat Kebudayaan Bali ini nantinya akan berisi berbagai fasilitas seni, museum tematik, serta terintegrasi dengan pusat pertumbuhan ekonomi baru. Kawasan Pusat Kebudayaan Bali ini diharapkan menjadi lokus baru pengembangan budaya Bali yang unggul, berkarakter, dan mampu mencerminkan keluhuran peradaban Bali. “Astungkara ini terwujud, Bali akan kembali mencapai masa keemasan Kebudayaan Bali yang saat itu pernah terjadi di era Kerajaan Gelgel dengan Raja Dalem Waturenggong,” tegas Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unud ini. Kecerdasan yang dimiliki Gubernur Bali, Wayan Koster juga bisa kita lihat, ketika warisan budaya Bali dijadikan sumber kekuatan budaya yang dirasakan masyarakat, dan menjadi pendapatan ekonomi oleh perajin di Bali. Contoh saja, Perda Nomor 4 Tahun 2020 bisa direalisasikannya berupa penggunaan busana Adat Bali pada hari Kamis, Purnama, dan Tilem, serta Hari Jadi Pemprov Bali. Dalam konteks pariwisata Bali, penggunaan busana Adat Bali yang juga dilakukan oleh para pekerja pariwisata dapat mencerminkan identitas Bali yang unik dan khas. Tidak sedikit wisatawan yang kemudian ikut menggunakan udeng, kamen, dan kebaya sepanjang berlibur di Bali.
Berbagai tarian populer di Bali seperti tari Kecak, tari Pendet, tari Puspanjali, dan lain-lain tentunya sudah tak asing lagi di telinga. Namun, siapa sajakah sosok dibalik beragam tarian sohor tersebut? Yuk, simak ulasan mengenai para maestro tarian Bali tersebut. Wayan Limbak Wayan Limbak adalah pencipta dibalik tarian indah tari Kecak. Sekitar tahun 1930an, ia bersama Walter Spies, seorang pelukis Jerman, memodifikasi tarian Sanghyang menjadi tari Kecak yang saat ini kita kenal. Dalam modifikasi tarian tersebut, Limbak dan Spies menyisipkan sebuah cerita yang diambil dari epos Ramayana. Cerita itu menuturkan peristiwa ketika Jatayu dan Hanuman bertempur untuk melawan pasukan Rahwana yang menculik Dewi Sinta. Artikel terkait Yuk, Kenali 5 Tarian “Hits” di Pulau Dewata Selain cerita pertempuran Rahwana, Limbak juga memberikan sentuhan kisah Subali ketika bertempur dengan adiknya, Sugriwa. Dalam mempopulerkan tariannya di kancah nasional maupun internasional, Wayan Limbak membawa grup tarinya ke berbagai festival internasional. Tarian yang dijuluki “The Monkey Dance” tersebut nyatanya tidak mengkhianati kreatornya. Tari Kecak telah berhasil menjadi tarian terpopuler di Indonesia dan dunia. Pada 31 Agustus 2003, Wayan Limbak tutup usia di desa Bedulu, Gianyar, Bali. Ia meninggal di usia 160 tahun, meninggalkan karya yang tak terpisahkan dari Indonesia, khususnya Bali. I Wayan Rindi Siapa yang tak kenal tari Pendet. Tari tradisional Bali ini telah melambung di kancah dunia dan menjadi salah satu warisan budaya Indonesia yang patut diacungi jempol. I Wayan Rindi menjadi pencipta mahakarya yang sempat diklaim Malaysia pada 2009 silam ini. I Wayan Rindi adalah seorang gadis Bali yang sudah memiliki darah seni sejak kecil. Perempuan yang lahir pada 1917 ini gemar mempelajari beragam jenis tarian tradisional. Ia berguru kepada beberapa seniman sohor tari Bali, seperti I Nyoman Kaler pencipta tari Panji Semirang, Margapati, Prembon, I Wayan Lotering, dan I Regog. Artikel terkait Mengenal Lebih Dekat Tari Kontemporer Bali, Tarian “Lepas” di Pulau Dewata Mulanya, tari Pendet hanyalah tarian pemujaan yang dilakukan di berbagai pura di Bali. Namun, berkat gubahan Rindi, tarian ini berhasil dikenal oleh berbagai kalangan hingga taraf internasional, tanpa meninggalkan nilai-nilai sakral dan keindahan budaya bali. Dengan seorang teman bernama I Ketut Reneng, Rindi mengeksplorasi dan menginovasi tarian Pendet Wali yang sebelumnya ada. Hal tersebut tak lepas dari kehebatannya dalam menciptakan gerakan yang indah dan citranya sebagai penari yang termashyur. Kini, tarian tersebut dikenal dengan tari Pendet, yang dilakukan sebagai tari penyambutan selamat datang. I Wayan Rindi wafat pada tahun 1976. Ia meninggalkan ilmu mengenai warisan Indonesia tersebut dan menularkannya kepada ratusan orang yang berguru kepadanya. Ia juga tidak pernah mematenkan tari ciptaannya itu hingga akhir hayatnya. Swasthi Wijaya Swasthi Wijaya Bandem atau Swasthi Wijaya merupakan tokoh dibalik kemashyuran tari Puspanjali. Selain sebagai pencipta, ia juga merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan tari Puspanjali pada masyarakat Bali. Berkat tangan dingin perempuan kelahiran Mei 1946 ini, terciptalah mahakarya yang bermakna “tarian penghormatan bagi para tamu” tersebut. Artikel terkait Memuliakan Bidadari dari Surga Terakhir di Bumi Dalam penggarapannya, Swasthi Wijaya tidak hanya menyajikan koreografi semata, tetapi juga berkolaborasi dengan I Nyoman Windha sebagai penata musiknya. Kolaborasi kedua seniman profesional itu pun menghasilkan karya tari yang indah dipandang mata. Tersaji keelokan dan kelembutan gerakan wanita Bali ketika menari tari Puspanjali. Pertunjukan yang diperankan oleh 5 hingga 7 penari ini menunjukkan kekompakan yang harmonis. Pada tahun 1977 sampai 1980, Swasthi Wjaya pernah menjadi pengajar tari Bali di Wesleyan University, Connecticut, USA. Kini, ia menjadi pengajar di Institut Seni Indonesia ISI Denpasar. I Nyoman Kaler I Nyoman Kaler menjadi salah satu tokoh seni yang melegenda. Perempuan asal Denpasar ini lahir dari keluarga seniman. Ayahnya, I Gde Bakta merupakan seniman terkemuka pada masanya. Begitu pula dengan ibu Kaler. Ia merupakan anak dari seorang guru tari dan tabuh bernama I Gde Salin. Tak heran, sejak kecil Kaler berguru tentang seni kepada ayah dan kakeknya. Kaler tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Namun, kemampuannya dalam baca tulis aksara Bali dan huruf Latin patut diacungi jempol. Kemampuannya tersebut tak lepas dari seni tari dan tabuh yang ia pelajari. Baca juga Semesta Mengakui Sembilan Tarian dari \'Surga Terakhir di Bumi\' I Made Sariada, I Gusti Gede Candu, dan I Made Nyankan merupakan tokoh-tokoh yang pernah mengajarkan seni kepadanya. Ketika berusia 26 tahun, I Nyoman memperdalam tari Legong Kraton pada Ida Bagus Boda. Ia juga semakin mengeksplorasi kemampuan tari dan tabuhnya pada Anak Agung Rai Pahang dari Sukawati, Gianyar. Teknik-teknik mengagumkan yang diajarkan Pahang kepada Kaler pun mampu menjadikan anak didiknya tersebut sebagai pencipta beberapa tarian populer di Bali, seperti tari Margapati, tari Panji Semirang, dan tari Prembon. Ia juga menguasai hampir seluruh alat gamelan di Bali. Atas dedikasinya terhadap seni, ia menerima penghargaan tertinggi di bidang seni, yaitu Wijaya Kusuma, dari pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1968 dan Dharma Kusuma dari Pemerintah Daerah Bali tahun 1980. I Nyoman Kaler telah membesarkan nama Bali di kancah dunia karena beragam mahakarya yang ia ciptakan. I Gede Manik Pesohor seni lainnya yang turut melegenda adalah I Gede Manik. Manik menjadi penabuh dan penari pertama tari Kebyar Legong. Suatu saat, ia menginovasi gerakan tari Kebyar Legong versi lain dengan durasi yang lebih pendek, tetapi tetap memiliki gerakan yang dinamis. Gerakan ini menggambarkan pemuda yang enerjik, penuh emosi, dan berusaha memikat seorang gadis. Baca juga Inilah Sembilan Tari Bali yang Diusulkan Ke Unesco Jadi Warisan Budaya Dunia Awalnya, tarian ini tidak memiliki nama, hanya disebut sebagai tari Kebyar Dangin Enjung. Namun, ketika dipertunjukkan di depan Bung Karno dan rekan-rekannya pada 1950 silam di Denpasar, presiden pertama Indonesia itu menamai tarian tersebut dengan tari Trunajaya. Trunajaya bermakna “teruna yang digdaya”, atau “pemuda yang tak terkalahkan”. Sebelum sohornya Trunajaya, Manik sempat menelurkan tarian lain bernama tari Palawakya pada tahun 1925. Ia juga menciptakan Tabuh Singa Ambara Raja dan berbagai tabuh lainnya di Buleleng. Tak heran, ia telah meraih beberapa penghargaan, seperti Anugerah Seni dari Mendikbud RI, Mashuri 1969; Wija Kusuma dari Bupati Buleleng, I Nyoman Tastra 1981; Dharma Kusuma dari Gubernur Bali, Ida Bagus Mantra 1981, dan Satya Lencana 2003 dari Presiden RI, Megawati Soekarno Putri. PROMOTED CONTENT Video Pilihan
Kadek Suartaya. BP/IstimewaOleh Kadek SuartayaMasyarakat dunia telah mengenal Bali sebagai Pulau Kesenian. Penulis buku ’Island of Bali’’ 1937, Miguel Covarrubias, menyebut semua orang Bali adalah seniman. Ritual keagamaan yang tiada henti bergulir sambung-menyambung sepanjang tahun di Pulau Dewata, senantiasa disertai dengan keindahan kehidupan penduduknya dengan adat dan tradisi yang lestari, tak pernah jeda dengan lantunan suara gamelan di seluruh penjuru pulau. Namun tahun 2020 adalah hari-hari senyap bagi kesenian sembilan bulan terakhir ini, sumringah kesenian Bali kuyu layu. Wabah Corona yang mencengkeram jagat, memasung segala aktivitas seni. Kegiatan berkerumunan yang dibatasi, bahkan dilarang, mengekang penampilan beragam ekspresi seni. Seni pertunjukan yang merupakan bagian penting dalam ritual keagamaan, sebagai tontonan masyarakat, dan atraksi seni yang diminati wisatawan, tersungkur di pojok teronggok pegiat seni yang tulus melakoni kesenimanannya dan profesionalitasnya termangu sedu. Kegetiran nan menggelisahkan seperti ini belum pernah terjadi pada dunia seni di tengah masyarakat yang ber-’DNA’’ seni Bali pada umumnya, gundah walau harus pasrah. Peristiwa kesenian keagamaan yang terjegal oleh malapetaka Covid-19 di tahun 2020 adalah kreativitas seni ogoh-ogoh pada hari raya Nyepi di bulan Maret dan persembahan ngelawang hari raya Galungan dan Kuningan di bulan yang telah dipersiapkan oleh anak-anak muda Bali sejak sekitar awal Januari, saat ritual pangerupukan — sehari jelang Nyepi — tak berkesempatan diarak. Ogoh-ogoh yang menggambarkan karakter menyeramkan, membisu pula saat Galungan-Kuningan pada pertengahan September, sajian ngelawang aneka bentuk barong yang lazim dibawakan para remaja, tak tampak berkeliling desa menyambangi penonton. Ritual atau pentas seni nomaden yang ditunggu-tunggu masyarakat Bali ini tak hadir memberi rahmat dan menyuguhkan ritual keagamaan dalam konteks panca yadnya, selain memiliki arti esensial dalam prosesi upacara, juga sebagai wahana ngayah persembahan bakti. Namun dewa yadnya yang memberi ruang luas pada suguhan seni, di tahun 2020 begitu merana di bawah teror Corona. Kumandang kidung suci yang dibawakan sekaa pesantian tak terdengar alunannya. Denting gamelan Slonding yang wingit hingga sajian teduh lelambatan Gong Gede tak tampak unjuk beragam variasi tari Rejang yang lestari di seluruh Bali tersipu diam. Juga teater Topeng Sidakarya sebagai ungkapan legitimasi sebuah ritual keagamaan, tidak unjuk tutur berkisah dan berpetuah di hadapan masyarakat religius Bali. Begitu nelangsanya kesenian Bali di tengah kecemasan akibat grubug dunia ketika bencana atau wabah penyakit menerjang masyarakat Bali, justru merebak fluktuasi kehadiran kesenian tolak bala. Kesenian peninggalan zaman prasejarah ini, yaitu beragam tari Sanghyang, diusung takzim sebagai pelindung masyarakat, tampil dalam atmosfer magis. Sanghyang Dedari di Bali Selatan, Sanghyang Memedi di Bali Utara, Sangyang Bojog di Bali Barat, Sanghyang Celeng di Bali Timur, dan Sanghyang Jaran di Bali Tengah adalah simbolisme transedental yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit atau menetralisir kecemasan, menghalau ketakutan yang tetapi kini, di tengah penerapan protokol kesehatan, physical distancing dan social distancing, tidak terlihat adanya komunitas masyarakat yang berserah diri akan keselamatannya, mohon perlindungan Hyang Widhi lewat perantara tari luar sajian seni yang berkaitan langsung atau tak langsung dengan aktivitas keagamaan, masyarakat Bali menyayangi seni sebagai balih-balihan. Dalam bingkai ini, kesenian Bali ditempatkan sebagai tontonan presentasi estetik yang bermuatan tuntunan. Nasibnya di tahun 2020 ini juga memilukan. Gemulai eloknya tari Legong, merdunya tembang yang dikisahkan dramatari Arja, dan kenes menterengnya seni kebyar — untuk menyebut sebagian kecil dari seni balih-balihan — semuanya pada tiarap istirahat tanpa penonton pun kehilangan asupan batin, melakoni hari-hari nestapa kehidupan dengan nurani gersang. Sebab, jagat seni bagi masyarakat Bali bukan sekadar tontonan namun juga membinarkan tuntunan yang mencemeti optismisme betapa kesenian merupakan representasi semangat kehidupan dapat ditelusuri pada arena berkesenian yang dikenal dengan Pesta Kesenian Bali PKB. PKB 2020 yang urung diselenggarakan akibat wabah Covid-19, sungguh ’kejam’’ menelikung semangat para insani seni dan masyarakat penonton pecinta seni. Bagaikan petir di siang bolong, tanpa berkabar, pagebluk yang menyeringai mengancam penduduk dunia, ’meluluhlantakkan’’ perhelatan seni yang semestinya berlangsung pada bulan pegiat seni di seantero Bali, tertegun dan termangu, menghadapi pembatalan forum seni bergengsi yang telah bergulir sejak tahun 1979 tersebut. Persiapan yang telah dilakukan jauh-jauh hari dianulir oleh malapetaka yang tidak kenal kompromi. Semangat kehidupan berseni budaya, menenun kemuliaan peradaban bangsa, sementara mesti dikendurkan, berharap suatu saat jika wabah telah sirna, kembali menggeliat adalah pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar
Daftar Isi Sejarah Seni Lukis Bali 1. Masa Prasejarah 2. Masa Sebelum Penjajahan 3. Masa Penjajahan-Masa Klasik 4. Masa Modern Gaya Seni Lukis Bali 1. Gaya Ubud 2. Gaya Batuan 3. Gaya Sanur - Kesenian Bali memiliki ciri khas yang kental, seperti pada seni tari, seni musik, seni pahat hingga seni lukis. Di sini kita akan fokus mengulas mengenai seni lukis Bali yang memiliki sejarah panjang. Selain sejarahnya, kita juga akan mengulas satu per satu gaya seni lukis yang ada di lukis Bali memiliki perjalanan panjang hingga berevolusi menjadi karya seni seperti yang sekarang kita nikmati. Sejarahnya bisa kita tengok sejak zaman prasejarah, zaman penjajahan dan berlanjut hingga era ini sejarah seni lukis Bali yang dirangkum dari Journal of Urban Society's Art Volume 3 No. 1 April 2016 dan penelitian di FPRD Universitas Pendidikan Indonesia. 1. Masa PrasejarahNenek moyang orang Bali yang disebut orang Bali Aga dan Bali Mula sudah tinggal di Bali sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Masyarakat saat itu mengenal kesenian yang kebanyakan berfungsi untuk ritual kepercayaan membuat banyak karya seperti punden berundak, sarkofagus, dolmen. Di masa ini, seni lukis juga mulai Masa Sebelum PenjajahanMasa sebelum penjajahan yang dimaksud ialah sebelum masuknya kerajaan-kerajaan Jawa yang menguasai Bali. Pada era ini, seni lukis juga digunakan untuk kepentingan keagamaan, yaitu agama digunakan untuk kepentingan menghias pura atau rumah-rumah golongan masyarakat dari kasta atas di Bali. Karya-karya seni ini diwujudkan dalam bentuk tokoh dewa, pahlawan-pahlawan, wiracarita, dan figur-figur lukis waktu itu dominan menggunakan warna merah, putih, hitam dan kuning keemasan, yang merupakan simbol kepercayaan. Warna merah melambangkan Dewa Brahma, warna putih melambangkan Dewa Wisnu, warna hitam melambangkan Dewa itu, sudah muncul pula motif poleng, yakni motif kotak-kotak hitam putih yang saat ini masih sering kita lihat jika berada di Bali. Motif ini melambangkan empat arah mata angin yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Masa Penjajahan-Masa KlasikBali dahulunya merupakan daerah jajahan kerajaan-kerajaan Jawa, antara lain Kerajaan Mataram Hindu saat dipimpin Raja Sanjaya 732 M. Saat itu ialah masa ketika Jawa sedang mengalami masa kesenian klasik 7-9 M, sehingga kesenian Jawa banyak mempengaruhi kesenian Wangsa Syailendra membuat Bali dipimpin oleh kerajaan-kerajaan kecil asli Bali. Namun Bali kembali dikuasai oleh kerajaan Jawa Timur, yakni pimpinan putra Kerajaan Udayana, Airlangga 1014-1047. Pada masa ini, muncul karya seni arsitektur seperti Candi Gunung Kawi, Goa Gajah, dan Bukit kembali menjadi daerah mandiri setelah Airlangga meninggal dunia. Namun pada 1222-1292, Bali dikuasai Kerajaan Majapahit sampai keruntuhannya karena masuknya kerajaan Islam. Masyarakat Majapahit dari berbagai lapisan pun menjadikan Bali sebagai tempat juga membawa keseniannya menuju Bali sehingga kebudayaan Jawa Hindu berkembang kuat di Bali. Meski demikian, masyarakat Bali tidak menerima mentah-mentah budaya tersebut. Ada upaya mereka mempertahankan ciri khas Bali, sehingga kesenian Bali semakin seni lukis pun terus berlangsung sesuai kebudayaan yang dibawa penguasa. Pada masa kejayaan Kerajaan Klungkung, kerajaan mendorong tercapainya kemahiran melukis dalam berbagai seni lukis masa klasik terjadi pada masa pemerintahan Dalem Watu Renggong pada abad ke-17 hingga 18, terutama dengan kemunculan seniman pelopor seni lukis wayang gaya Kamasan yang bernama I Gede Mersadi dan bergelar Sangging Masa ModernKesenian Bali mencapai masa modern seiring kedatangan Belanda di Indonesia. Kebudayaan Barat yang dibawa bangsa Eropa pun diterima orang Bali, sehingga memberikan warna baru pada kesenian seniman Belanda datang ke Bali antara lain Rudolf Bonnet, Walter Spies, Le Mayeur, Hofker, Romualdo Locatelli, dan beberapa pendatang lainnya. Pada tahun 1932, muncul kelompok seni Eropa-Bali bernama Pita Maha yang didirikan oleh Rudolf Bonnet, Walter Spies, Cokorda Gede Agung Sukawati, Cokorda Gede Raka Sukawati, Cokorda Gede Rai Sukawati, dan I Gusti Nyoman Lempad. Awalnya, anggota Pita Maha sebanyak sekitar 150 keberadaan Pita Maha awalnya untuk merangsang seni dan untuk memberikan minat dalam kemudahan bahan kepada para anggotanya. Karya-karya seni mereka diseleksi oleh para ahli seni dan diperjualbelikan. Pita Maha hanya mengambil sedikit dari keuntungan untuk menutup biaya Seni Lukis BaliSemenjak munculnya Pita Maha yang membawa seni lukis ke masa modern, karya-karya mereka menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya. Terutama karya Spies dan Bonnet memunculkan gaya seni lukis Bali, yaitu gaya Ubud, Batuan dan Gaya UbudFoto Buku Perjalanan Seni Lukis Indonesia Koleksi Bentara BudayaPengaruh Spies dan Bonnet mempengaruhi gaya Ubud dengan pengolahan komposisinya yang lebih dinamis, penggarapan perspektif dan pemilihan warna. Gaya ini juga memperkenalkan penggunaan bahan dan peralatan lukis dari Barat, seperti cat air, cat minyak dan tempera. Pengaruh mereka juga tampak pada gradasi gelap Gaya BatuanFoto Buku Perjalanan Seni Lukis Indonesia Koleksi Bentara BudayaGaya Batuan memiliki ciri khas suasana malam hari yang seram dengan menampilkan hantu berbentuk yang aneh, monster binatang, penyihir wanita, dan mayat penghisap darah. Gaya pewayangan tidak tidak terlihat pada gaya ini. Objek berupa figur manusia digambar secara frontal. Objek lain seperti gunung, pohon, daun sering muncul untuk melukiskan Gaya SanurFoto Buku Perjalanan Seni Lukis Indonesia Koleksi Bentara BudayaGaya lukisan Sanur terinspirasi oleh laut dan kehidupan sehari-hari. Banyak seniman yang menggambarkan kehidupan laut, makhluk-makhluk laut, kura-kura, kepiting, dan adegan-adegan mandi. Seniman yang menekuni Gaya Sanur antara lain adalah Ida Bagus Nyoman Rai, I Ketut tadi penjelasan mengenai sejarah seni lukis Bali mulai dari masa prasejarah, masa penjajahan Kerajaan Hindu Jawa, masa klasik hingga modern yang berkembang hingga memunculkan gaya Ubud, Batuan dan Sanur. Simak Video "Pesona Wisata Sumenep Pantai, Sejarah, dan Tradisi" [GambasVideo 20detik] bai/fds
tokoh yang mengatakan mayoritas orang bali adalah seniman yaitu